Macul We Olangan

Senin, 20 Desember 2010 0 komentar
Pertanyaan dari The Social Climber (Agus-jakarta-banget@gmail.com):

Bro, gue sering banget liat kalian kalau lagi bales2an argumen sama orang, sering banget ga bertanggungjawab. Orang lain udah argumen panjang-panjang, eh kalian dengan singkat bilang 'macul we olangan'. Maksud kalian apa tuh, bro? Kok biasanya habis itu, si orang itu pasti kesel dan marah-marah.

Jawaban dari Filsuf Galau:

Aduh, jangan bra-bro-bra-bro dong, terdengar kamu sedang sakit perut di WC deh. Kami gak sembarangan bung bilang 'macul we olangan'. Ada filosofinya, dan kami bukan bermaksud menghindari perdebatan. Perlu diketahui mata pencaharian bangsa Indonesia sebagian besar adalah bertani (gak percaya? coba buka buku PMP pas masa sekolah kami). Kegiatan utama bertani tentu saja mencangkul. Mencangkul itu apa? Yaitu mengaduk tanah agar gembur, dengan alat bernama cangkul. 

Untuk areal tanah yang luas, mencangkul sendirian adalah kegiatan melelahkan, maka itu biasanya para petani beranak banyak, agar mereka bisa jadi keluarga besar untuk bantu-bantu mencangkul. Jadi, kalau kami bilang 'macul we olangan', itu artinya kami mau bilang sama dia: jangan beranak banyak-banyak, karena Indonesia sudah sesak. Jakarta sudah padat, rawan kejahatan, apalagi di Tanah Abang.


gambar: macul we olangan dari sini


Dari Seseorang Yang Peduli Negeri

Selasa, 07 Desember 2010 0 komentar
Pertanyaan dari Jurnalis Galau (psychocantropus@yahoo.com) :

1. Filsuf, mengapa sampai sekarang skandal Bank Century belum beres2?

2. Apakah Kakak kenal dengan Bung Gayus Halomoan Tambunan? Kalau iya, adakah keterkaitan antara Gayus Halomoan Tambunan dengan Jayus alias Garing?

3. kok Off Clinic jadi punya blog sendiri? Mau sok-sokan keren ya?

Jawaban dari Filsuf Galau:

Halo Jurnalis Galau yang beralamat e-mail psychocantropus. Apakah kamu bisa erectus?

1. Maksudmu beres-beres? Oh, skandal Bank Century sudah lama beres-beres, Mas. Atau dalam bahasa Sunda: Skandal Bank Century mah parantos beberes


2. Ada dong, wig yang ia kenakan pastilah Jayus. Kalau wignya basah, pasti tambah jelek dong kelihatannya.

3. Bayi dahulu disuapi oleh orangtua sampai tiba saatnya anak-anak. Setelah itu anak jadi remaja, lepas dan menyuapi dirinya sendiri. Lalu kemudian ia bisa menyuapi pacarnya agar bermanja-manja lalu setelah itu bercinta. 

Tips-tips Diskusi Filsafat

Sabtu, 27 November 2010 0 komentar
Pertanyaan dari Asep Sutrisna (asep.yulaw@gmail.com):
Filsuf, gimana sih biar kita bisa mengikuti diskusi filsafat? Maksudnya, istilahnya kan suka susah-susah, berat, dan terkesan intelek banget gitu loh. Kakak ngerti kan maksud saya? Makasih ya kak.

Jawaban dari Filsuf Galau:

Oke, begini tipsnya, Jang Asep.

1. Pertama-tama, menjelang diskusi mulai, kan pasti ada acara duduk-duduk menunggu. Nah persiapkan pose yang menunjukkan bahwa dirimu adalah seorang pemikir: Merokok dan sedikitnya minum kopi. Kopi hitam lebih bagus, apalagi kental dan pahit. Lalu sebelum diskusi mulai, kelihatan membaca buku akan sangat membuatmu disegani. Apalagi bukunya tebal dan bukan komik. Jika kau bersama seorang teman, coba diskusikan soal kebenaran dengan suara keras sehingga menarik perhatian orang lain.

2. Bahasa adalah akses yang menentukan apakah dirimu layak diterima di lingkungan filsafat atau tidak. Cobalah gunakan bahasa-bahasa yang paling sedikit dimengerti oleh orang lain. Misalnya, "eksistensial", "kontemplatif", "dualisme Cartesian", "transendensi-imanensi", atau "hiper-realitas". Lebih hebat lagi kalau kau menggunakan bahasa asing minimal Inggris, atau paling keren Latin. Agar lebih dramatis, kau bisa pura-pura tidak tahu istilah Indonesia-nya, saking betapa kau tidak menemukan padanan yang tepat. Ini contohnya, "Atau menurut Descartes, yang -aduh apa sih bahasa Indonesianya- pokoknya dia mengatakan Cogito Ergo Sum."

3. Jang, saya juga orang Sunda. Tapi cobalah hindari intonasi yang terlalu sundawi dalam mengemukakan pendapatmu. Orang Sunda cenderung lembut dan ramah dalam nada bertutur. Padahal, dalam mengemukakan pendapat di forum filsafat, kau harus lantang, tegas, keras, dan berapi-api. Agar apa? Agar orang lain terkesima dengan volume suara dan tekanannya alih-alih konten pendapatnya.

4. Jang, akan saya bagi padamu apa yang dinamakan "gestur intelektual". Yaitu ketika tanganmu ikut mengayun mengikuti alur bicaramu. Lakukan dengan luwes dan asyik. Kadang telunjukmu acungkan (jangan jari tengah) untuk memberi tanda pada lawan bicaramu untuk hati-hati terhadap dirimu. Dagu juga agak-agak kau tanggahkan, jangan bungkuk seperti orang Sunda pupuntenan kala melintasi sekumpulan orang.

5. Terakhir, Jang. Kutipan. Penting untuk mengutip kalimat filsuf besar untuk menunjukkan bahwa kau seorang yang rajin menelaah filsafat. Tapi ketahuilah Jang, hati-hati mengutip, karena jika kau salah, malah akan jadi bumerang. Jangan polos banget lah, "Seperti kata Nietzsche, Cikaracak ninggang batu slowly-slowly become legok." Itu pasti kau akan jadi tertawaan. Mending kau ketahui dulu ranah bidangmu itu apa, kau banyak baca apa sebelum ini. Misal, jika kau rajin nonton bola, carilah satu nama yang kurang dikenal orang lain, dan jadikan itu landasan bagi kutipanmu (walaupun kutipanmu bukan dari dia). Misal, "Menurut Felix Dja-Ettien, Hidup adalah perjuangan tanpa henti." Felix Dja Ettien adalah eks-pemain Levante yang saya yakin banyak orang tidak tahu apalagi jika kau ucapkan agak cepat dengan intonasi menekan.

Demikian Jang, selamat berfilsafat.